Senin, 14 Desember 2009

Ormas Lemah Tanpa Kemandirian Ekonomi

Di Indonesia, sampai 2008 lalu, dari data Kementrian Dalam Negeri ditemukan data jumlah ormas dan LSM mencapai 80 ribu. Sayangnya dari jumlah ini 72 ribu di antaranya tak berfungsi dalam penguatan civil society. Keprihatinan inilah yang mendorong DPP LDII menggelar Roundtable Discussion bertema Revitalisasi Peran Ormas Sebagai Social Capital dalam Pengembangan Civil Society, pada Jumat 20 Nopember 2009 di gedung DPP LDII, Jalan Tentara Pelajar no 28.

Diskusi ini menghadirkan Yudi Latif, Direktur Reform Institute. Dalam diskusi itu mengemuka, ormas di Indonesia lemah secara ekonomi, sementara demokrasi masuk dengan capital. Artinya, yang terjadi adalah proses jual beli suara dalam demokrasi. Wajar, bila setelah terpilih politisi akan meninggalkan pemilihnya, karena pemberian suara bersifat transaksional. “Akibatnya, alat-alat kekuasaan bertanggung jawab bukan kepada rakyat, tapi terhadap pemodal. Dengan demikian jangan berharap mereka membuat kebijakan yang berpihak kepada public,” ujar Yudi Latif.

Yudi Latif juga menyoroti beberapa kasus yang mengakibatkan pemerintah justru berpihak kepada pemodal. Semisal kasus Lapindo dan Bank Century. Untuk itu, Yudi latif menghimbau agar ormas menyadari takdirnya sebagai pembentuk masyarakat sipil. Sebab, menurutnya, ketika pemerintah lemah dan tak sanggup memenuhi kebutuhan rakyatnya, ormas-lah yang menjadi sandaran harapan rakyat. Untuk menjadi ormas yang mandiri, Yudi Latif menyarankan kemandirian ekonomi. Ormas bisa bergiat dalam koperasi untuk menghidupi dirinya, “Bagaimana mau menegakkan demokrasi bila seluruh kegiatan dibiayai asing atau minta kepada pemerintah,” imbuhnya.